Sejarah Konstantinopel
Konstantinopel (bahasa Yunani:
Κωνσταντινούπολις Ko̱nstantinoúpolis, bahasa Latin: Constantinopolis, bahasa
Turki Utsmaniyah: قسطنطینیه, bahasa Turki: Kostantiniyye atau İstanbul) adalah ibu kota
Kekaisaran Romawi, Kekaisaran Romawi Timur, Kekaisaran Latin, dan Kesultanan
Utsmaniyah. Hampir selama Abad Pertengahan, Konstantinopel merupakan kota
terbesar dan termakmur di Eropa.[1]
Sekurang-kurangnya sejak abad
ke-10, kota ini umum disebut Istanbul yang berasal dari kata Yunani Istimbolin,
artinya "dalam kota" atau "ke kota". Setelah ditaklukkan
oleh kaum Utsmaniyah pada 1453, nama resmi Konstantinopel dipertahankan dalam
dokumen-dokumen resmi dan cetakan mata uang logam. Ketika Republik Turki
didirikan, pemerintah Turki secara resmi berkeberatan atas penggunaan nama itu,
dan meminta agar diganti dengan nama yang lebih umum, yakni Istanbul.[2][3][4]
Penggantian nama tersebut diatur dalam Undang-Undang Pelayanan Pos Turki,
sebagai bagian dari reformasi nasional Atatürk.[5][6] Istanbul berasal dari
kata Stambol, yakni sebutan untuk Konstantinopel yang digunakan kaum Yunani dan
Slavia dalam percakapan sehari-hari (Untuk penjelasan lebih lanjut, lihat
Nama-nama Istanbul).
Konstantinus memiliki
rencana-rencana besar dalam segala bidang. Setelah memulihkan kesatuan
kekaisaran, dan karena sedang melakukan reformasi besar dalam pemerintahan
serta mensponsori konsolidasi masyarakat Kristen, dia sungguh-sungguh sadar
akan keterbatasan Roma sebagai sebuah ibu kota. Roma terlalu jauh dari
garis-garis perbatasan, dan oleh karena itu jauh pula dari angkatan bersenjata
dan dewan kekaisaran. Roma tidak diminati sebagai lahan bermain bagi para
politisi yang berseberangan dengan pemerintah. Tetapi Roma telah menjadi ibu
kota negara selama seribu tahun, dan tampak tak terpikirkan untuk memindahkan
ibu kota ke tempat lain. Meskipun demikian, Konstantinus melihat Bizantium
sebagi lokasi yang tepat: tempat seorang kaisar dapat bertahta, memiliki
pertahanan yang matang, dan memiliki kemudahan akses ke perbatasan Danube
maupun Efrat, dewan kekaisaran memperoleh suplai dari kebun-kebun yang subur
dan bengkel-bengkel yang canggih di Asia, perbendaharaannya diisi oleh
provinsi-provinsi termakmur dalam kekaisaran.
Konstantinopel dibangun selama enam
tahun, dan diresmikan pada 11 Mei 330.[7] Konstantinus membagi kota yang
diperluas itu, seperti Roma, menjadi 14 kawasan, dan mendandaninya dengan
fasilitas-fasilitas umum yang layak bagi sebuah metropolis kekaisaran.[8] Akan
tetapi, mula-mula, Roma baru Konstantinus tidak memiliki semua kemuliaan Roma
lama. Kota ini memiliki seorang proconsul, bukannya seorang prefek urban. Tidak
memiliki praetor, tribun, ataupun quaestor. Meskipun memiliki senator-senator,
mereka hanya begelar clarus, bukan clarissimus, seperti di Roma. Konstantinopel
juga tidak memiliki jajaran administratif yang mengatur suplai pangan, polisi,
patung-patung, kuil-kuil, saluran-saluran pembuangan, saluran-saluran air
bersih, atau fasilitas-fasilitas umum lainnya. Program baru pembangunan
diselenggarakan dengan tergesa-gesa: Pilar-pilar, pualam-pualam, daun-daun
pintu, dan ubin-ubin dipindahkan dari kuil-kuil kekaisaran ke kota baru itu.
Dengan cara yang sama, banyak karya seni yunani dan Romawi segera terlihat di
alun-alun dan jalan-jalan. Kaisar mendorong pendirian bangunan-bangunan pribadi
dengan cara menjanjikan kepada para pemilik bangunan hadiah lahan dari tanah
negara di Asiana dan Pontica, dan pada 18 Mei 332 dia mengumumkan bahwa,
sebagaimana halnya di Roma, bahan pangan akan disalurkan secara cuma-cuma
kepada warga kota. Konon saat itu jumlahnya mencapai 80.000 ransum sehari,
disalurkan dari 117 titik distribusi di seluruh kota.[9]
Konstantinus membuka alun-alun
baru di pusat kota tua Bizantium, menamakannya Augustaeum. Dewan senat (atau
Curia) yang baru ditempatkan di sebuah basilika di sebelah timur alun-alun. Di
sebelah selatannya berdiri istana agung kaisar dengan gerbangnya yang megah,
Chalke, dan aula upacaranya yang dikenal sebagai Istana Daphne. Tak jauh dari
situ terdapat Hippodromos, tempat pacuan kuda yang mampu menampung 80.000
penonton, dan pemandian Zeuxippus yang terkenal. Di sisi barat Augustaeum
berdiri Milion, sebuah monumen berlengkung, titik awal untuk mengukur jarak ke
seluruh Kekaisaran Romawi Timur.
Dari Augustaeum terbentang sebuah
jalan raya, Mese (bahasa Yunani: Μέση [Οδός], secara harfiah berarti
"[Jalan] Tengah"), dipagari jajaran pilar. Karena membentang turun
dari bukit pertama dan naik ke bukit kedua, jalan ini melintasi sisi kiri
Praetorium atau Gedung Kehakiman. Kemudian melintasi Forum Konstantinus yang
berbentuk oval tempat dewan senat kedua dan sebuah pilar tinggi yang
dipuncaknya tegak sebuah arca Konstantinus dalam rupa Helios, bermahkota sebuah
lingkaran suci dengan tujuh berkas sinar dan menghadap ke arah matahari terbit.
Dari sana Mese melintasi Forum Taurus, kemudian Forum Bous, dan akhirnya naik
ke bukit ketujuh (atau Xerolophus) melewati Gapura Kencana di Tembok
Konstantinus. Setelah pendirian Tembok Theodosius pada abad ke-5, Mese diperpanjang
sampai ke Gapura Kencana yang baru. Panjang keseluruhannya mencapai tujuh Mil
Romawi.[10]
Prefek Kota Konstantinopel
pertama yang diketahui adalah Honoratus, yang menjabat sejak 11 Desember 359
sampai 361. Kaisar Valens membangun Istana Hebdomon di tepian Propontis dekat
Gapura Kencana, kemungkinan besar untuk digunakan pada saat pemeriksaan
pasukan. Semua kaisar sampai dengan Zeno dan Basiliscus dinobatkan dan
diumumkan di Hebdomon. Theodosius I membangun Gereja Yohanes Pembaptis sebagai
tempat penyimpanan tengkorak orang suci itu (sekarang disimpan di Istana
Topkapı di Istanbul, Turki), mendirikan sebuah tugu peringatan atas dirinya di
Forum Taurus, dan merombak reruntuhan kuil Aphrodite untuk dijadikan sebuah
gudang kereta Prefek Pretoria; Arcadius membangun sebuah Forum baru yang
dinamakan menurut namanya sendiri di Mese, dekat tembok-tembok Konstantinus.
Pengaruh Konstantinopel
lambat-laun meredup. Setelah diguncang oleh Pertempuran Adrianopel pada 378, di
mana Kaisar Valens beserta pasukan-pasukan Romawi terbaik dihancurkan oleh kaum
Visigoth hanya dalam beberapa hari saja, Konstantinopel mulai memperhatikan
pertahanannya, dan Theodosius II membangun Tiga Lapis Tembok Pertahanan
setinggi 18 Meter (60 Kaki) pada 413-414, yang tak dapat ditembus sampai
munculnya bubuk mesiu. Theodosius juga membangun sebuah Universitas dekat Forum
Taurus, pada 27 Februari 425.
Sekitar periode ini, Uldin,
seorang pemimpin kaum Hun, muncul di Danube dan bergerak maju ke Thrace, namun
dia dikhianati oleh banyak pengikutnya, yang menyeberang ke pihak Romawi dan
memukul mundur raja mereka kembali ke utara sungai itu. Karena kejadian ini,
tembok-tembok baru didirikan untuk mempertahankan Konstantinopel, dan armada di
Danube ditingkatkan.
Sementara itu, kaum Barbar
menguasai Kekaisaran Romawi Barat: Kaisarnya lari ke Ravenna, dan kerajaannya
binasa. Setelah peristiwa ini, Konstantinopel benar-benar menjadi kota terbesar
di Kekaisaran Romawi sekaligus di dunia. Kaisar-kaisar tidak lagi mondar-mandir
dari satu ibu kota dan istana ke ibu kota dan istana lainnya. Mereka berdiam di
istananya dalam kota besar itu, dan mengutus jenderal-jenderal untuk memimpin
bala tentara mereka. Kemakmuran Mediterania Timur dan Asia Barat mengalir masuk
ke Konstantinopel.
Kaisar Yustinianus I (527–565)
termasyur berkat kemenangan-kemenangannya dalam peperangan, reformasi-reformasi
hukumnya, dan karya-karya pembangunannya. Dari Konstantinopellah armada
ekspedisinya bertolak untuk merebut kembali bekas Keuskupan Afrika pada atau
sekitar 21 Juni 533. Sebelum bertolak, kapal Komandan Belisarius berlabuh di
depan istana kekaisaran, dan Patriark memimpin doa demi keberhasilan armada.
Setelah memenangkan pertempuran pada 534, harta-benda Bait Allah Yerusalem yang
dijarah pasukan Romawi pada 70 Masehi dan yang kemudian dibawa ke Kartago oleh
kaum Vandal setelah menjarah Roma pada 455, dibawa kembali ke Konstantinopel
dan disimpan di sana selama beberapa waktu, mungkin saja di dalam Gereja St.
Polyeuctus, sebelum akhirnya dikembalikan kepada Yerusalem di Gereja
Kebangkitan atau Gereja Baru.[12]
Lomba balap kereta sangat
digemari di Roma selama berabad-abad. Di Konstantinopel, hippodromos makin lama
makin meningkat reputasinya sebagai tempat berpolitik. Di sanalah (sebagai
bayangan yang silam dari pemilihan umum di Roma lama) rakyat secara aklamasi
menunjukkan persetujuan mereka atas seorang kaisar baru, dan di sana pula
mereka terang-terangan mengkritik pemerintah, atau menyerukan penggantian
menteri-menteri yang tidak disukai masyarakat. Pada masa pemerintahan
Yustinianus, ketertiban umum di Konstantinopel menjadi isu politik yang
penting.
Selama periode akhir Romawi dan
awal Bizantin, Agama Kristen menuntaskan permasalahan-permasalahan mendasar
akan identitasnya, dan perselisihan antara kubu Ortodoks dan Monofisit
menimbulkan kekacauan yang serius. Kekacauan ini diekspresikan melalui
keikutsertaan dalam keanggotaan pendukung tim biru dan hijau pada balapan
kereta. Para pendukung tim biru dan tim hijau konon[13] memelihara kumis dan janggut,
mencukur rambut di bagian depan dan memanjangkan rambut di bagian belakang
kepala, mengenakan jubah berlengan lebar dan berikat pinggang; dan membentuk
kelompok-kelompok yang meraung-raung dan melakukan kejahatan di jalanan pada
malam hari. Pada akhirnya kekacauan-kekacauan ini memuncak pada sebuah
pemberontakan besar pada 532, yang dikenal sebagai kerusuhan "Nika"
(dari pekik-perang "Kemenangan!" yang diteriakkan para pemberontak).
Kebakaran yang disulut para
pemberontak Nika menghanguskan basilika St. Sophia yang dibangun Konstantinus,
yakni gedung Gereja utama Konstantinopel, yang berdiri di utara Augustaeum.
Yustinianus menugaskan Anthemius dari Tralles dan Isidorus dari Miletus untuk
menggantikannya dengan gedung Gereja St. Sophia yang baru dan yang tiada
duanya. Gedung ini adalah katedral agung Gereja Ortodoks, yang kubahnya konon
bertahan di ketinggian atas kehendak Tuhan semata, dan yang terhubung langsung
dengan istana sehingga keluarga kerajaan dapat pergi ke Gereja tanpa perlu
melalui jalanan.[14] Peresmiannya digelar pada 26 Desember 537 dan dihadiri
kaisar, yang berseru, "Wahai Salomo, aku telah menyaingimu!"[15]
Pengurusan St. Sophia ditangani oleh 600 orang termasuk 80 imam, dan
menghabiskan biaya pembangunan sebesar 20.000 pon emas.[16]
Yustinianus juga menugaskan
Anthemius dan Isidorus untuk meruntuhkan bangunan asli Gereja Para Rasul Kudus
yang dibangun Konstantinus dan menggantikannya dengan sebuah gedung gereja baru
dengan nama yang sama. Gereja ini dirancang dalam bentuk salib sama-sisi dengan
lima kubah, dan dihiasi mosaik-mosaik indah. Gereja ini terus menjadi tempat
pemakaman para kaisar mulai dari Konstantinus sendiri sampai abad ke-11. Ketika
Konstantinopel jatuh ke tangan Turki pada 1453, Gereja ini diruntuhkan untuk
menyediakan tempat bagi makam Mehmed II Sang Penakluk. Yustinianus juga
memperhatikan aspek-aspek lain dari lingkungan pembangunan kota. Dia menetapkan
larangan mendirikan bangunan di tepi laut, dengan maksud untuk menjaga
keindahan pemandangan.[17]
Selama masa pemerintahan
Yustinianus I, populasi Konstantinopel mencapai 500.000 jiwa.[18] Namun jumlah
populasi juga menurun akibat menyebarnya Wabah Yustinianus antara 541–542
Masehi. Wabah ini membunuh sekitar 40% warga kota.[19]
Di awal abad ke-7, Bangsa Avar
dan kemudian Bangsa Bulgar menduduki sebagian besar wilayah Balkan sehingga
menjadi ancaman dari Barat bagi Konstantinopel. Di saat yang sama, Kekaisaran
Sassaniyah di Persia menduduki Prefektur Timur, dan menerobos maju ke Anatolia.
Heraclius, putera eksark Afrika, berlayar ke Konstantinopel dan dinobatkan
sebagai kaisar. Karena situasi militer sangat mengkhawatirkan, dia sempat
mempertimbangkan pemindahan ibu kota kekaisaran ke Kartago, namun diurungkannya
setelah warga Konstantinopel memohon-mohon padanya untuk tetap tinggal.
Konstantinopel kehilangan haknya atas gandum gratis pada 618, setelah Heraclius
sadar bahwa kota itu tak lagi dapat memperoleh pasokan dari Mesir akibat
peperangan dengan Persia. Populasi Konstantinopel menurun drastis karenanya,
dari 500.000 menjadi 40.000-70.000 jiwa saja.[20]
Smentara kota besar itu dikepung
musuh, Heraclius memimpin bala tentaranya memasuki wilayah Persia dan dalam
waktu singkat berhasil memulihkan status quo pada 628, setelah Persia
melepaskan seluruh wilayah taklukan mereka. Meskipun demikian, kekaisaran terus
melemah karena gempuran-gempuran Bangsa Arab sehingga kehilangan
provinsi-provinsinya di Afrika dan Tenggara Mediterania untuk selamanya.
Pengepungan pertama Konstantinopel oleh Kaum Muslim berlangsung dari tahun 674
sampai 678, dan pengepungan kedua berlangsung dari tahun 717 sampai 718.
Sementara Tembok-tembok Theodosius tak dapat ditembus oleh serangan darat,
sebuah penemuan baru yang dikenal dengan julukan "Api Yunani" memampukan
Angkatan Laut Bizantin menghancurkan armada Arab dan memungkinkan pasokan
makanan tetap mengalir ke dalam kota. Pada pengepungan kedua, pertolongan yang
sangat menentukan diulurkan oleh Bangsa Bulgar. Kegagalan pengepungan ini
sangat merugikan Kekhalifahan Umayyah, serta memulihkan perimbangan kekuatan
antara Bizantin dan Arab.
Leo III yang berhasil memukul
mudur serangan bangsa Arab baik dari daratan maupun lautan memulai
pemerintahannya dengan kontroversi religius terbesar dalam sejarah Byzantium;
Ikonoklasme. Dimulai 726 ia memerintahkan pasukan kekaisarannya untuk melepaskan
lukisan Kristus yang menggantung di gerbang Chalke, yang merupakan lukisan
religius paling penting di kota. Dia meyakini bahwa pemujaan lukisan-lukisan
ini adalah bentuk penyembahan berhala. Kaum Ikonodul, mereka yang memuja patung
suci, mencoba mencegahnya dan membuat pimpinan pasukan kekaisaran terbunuh.
Prajurit pun mengejar kaum Ikonodul dan membunuh pimpinannya putri Theodosia.
Akhirnya Theodosia dikanonisasi sebagai pelindung para Ikonodul.
Kebijakan Ikonoklasme Leo ini
diteruskan oleh Konstantin V yang memperbarui kampanye menentang penyembahan
berhala pada tahun 754 dengan lebih ketat dibanding sebelumnya. Konstantin V
meninggal pada 14 September 775, ia digantikan oleh putranya Leo yang juga
meneruskan kebijakan Ikonoklasme ayahnya. Ia memiliki istri bernama Eiren yang
berasal dari Athena, yang merupakan penganut Ikonodul yang taat namun
merahasiakannya dari suaminya. Leo IV meninggal pada 8 September 780,
digantikan putranya Konstantin yang belum berusia sepuluh tahun, dan ibunya,
Eiren ditunjuk sebagai wali. Eiren langsung mengembalikan ikon-ikon dan memecat
pendukung Ikonoklasme di pemerintahan yang digantikan dengan para Ikonodul.
Pada 24 September 787 di Nicea diselenggarakan Konsili Ekumenis Ketujuh.
Setelah mengadakan pertemuan selama satu bulan, dewan mengeluarkan keputusan
untuk memulihkan ikon-ikon dengan penegasan boleh dimuliakan dan tak boleh
disembah. Setelah Konstantin VI beranjak dewasa, ia berkuasa sendiri tanpa lagi
perwakilan Eirene yang turun takhta. Namun, Eiren memutuskan merebut
kekuasaanya, dan pada 15 Agustus 797 ia perintahkan pengawal pribadinya
menangkap Konstantin dan memenjarakannya. Konstantin dihari yang sama dibutakan
matanya dan dikirim ke sebuah biara di pulau Prinkip, dan tak lama meninggal
dunia di sana. Eirene kemudian digulingkan dalam sebuah kudeta, dan pada 31
Oktober 802 Nicephorus menduduki singgasana, lalu Eirene diasingkan dari
Konstantinopel dan tak pernah kembali. Necephorus terbunuh dalam perang dan
digantikan putranya, Stauracius, yang meninggal pada 11 Januari 812 dan
digantikan oleh Michael Rhangabe kaka iparnya. Michael mencoba mengembalikan
perdamaian agama dan membuat murka para penganut Ikonoklasme. Michael I hanya
berkuasa selama dua puluh bulan, dan pada 813 kaisar baru dinobatkan di Aya
Sofya sebagai Leo V. Leo adalah penganut Ikonoklasme dan kembali memperbarui
pelarangan lukisan suci. Dengan memimpin sebuah sinode pada tahun 815 di Aya
Sofya; hal ini mencabut keputusan Konsili Ekumenis Ketujuh pada 787 dan
mengonfirmasi sinode Ikonoklasme pada tahun 754. Leo yang terbunuh pada 820
digantikan oleh Michael, dan meninggal pada 2 Oktober 829. Michael II
digantikan putranya Theopilus yang juga menganut Ikonoklasme namun cukup
toleran seperti ayahnya. Theopilus yang meninggal pada 20 Januari 842 digantikan
putranya, Michael III, yang baru berusia dua tahun dan diwakilkan oleh ibunya,
Theodora.
Pada 845 mereka memimpin sebuah
konsili yang mencabut keputusan sinode Ikonoklasme pada tahun 754 dan
mengonfirmasi Konsili Ekumenis Ketujuh pada tahun 787. Dengan begitu,
berakhirlah Krisis Ikonolasme.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar